Sabtu, 03 Maret 2012

MAKALAH PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL AGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
            Para remaja pada saat ini yang sangat diharapkan dapat menjadi calon pemegang tongkat estafet penerus pembangunan bangsa, namun pada kenyataanya banyak dikalangan remaja yang rusak. Ini tidak lain disebabkan karena moral yang dimiliki sangat rendah. Moral juga berperan penting dalam pembentukan karakter.
2.      RUMUSAN MASALAH
            Kita semua tahu bahwa para remaja kita sedang dilanda krisis moral, yakni minimnya moral yang dimiliki oleh para remaja pada umumnya. Disini akan dibahas pengertian dari moral itu sendiri, perkembangannya dan faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan moral. Selain itu kami juga menambahkan pengertian spiritual agama serta perkembangan dan faktor yang mempengaruhinya
            Harapannya adalah para pembaca nanti akan mengetahui pengertian moral, bagaimana perkembangannya dan faktor apa saja yang mempengaruhi sehingga dapat meningkatkan perkembangan moral dikalangan remaja khususnya.
3.      TUJUAN
Setelah mempelajari perkembangan moral-spiritual, mahasiswa mampu:
1. menjelaskan pengertian moral;
2. mendeskripsikan faktor perkembangan moral;
3. menjelaskan proses perkembangan moral;
4. menjelaskan pengertian perkembangan spiritual-agama;
5. mendeskripsikan faktor perkembangan spritual-agama


BAB II
PEMBAHASAN
            Antara pengetahuan dan tindakan ternyata tidak selalu terjadi korelasi positif yang tinggi. Proses pertumbuhan dan kelanjutan pengetahuan menuju bentuk sikap dan, tingkah laku adalah proses kejiwaan yang musykil. Seorang individu yang pada waktu tertentu melakukan perbuatan tercela ternyata melakukannya tidak selalu karena ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu tercela, atau tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Pengertian nilai, moral dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku
            Nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, seperti adat, kebiasaan dan sopan santun. Nilai pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dal kedudukannya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
            Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik, perlu dilakukan,dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam  bertingkah laku.
            Menurut Gerung, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal. Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan yang akan di perbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (pedisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian, keterkaitan antara moral, sikap dan tingkah laku akan tampak dalam pengamalan nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.

Faktor faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap
            Para ahli psikoanalisis memandang perkembangan moral sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. menurut psikoanalisis nilai dan moral menyatu dalam superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah dari luar (khususnya orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, di antaranya sebagai berikut.
a.   Konsisten dalam mendidik anak dilarang
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dan melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b.   Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.
c.   Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
d.   Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan (ketidakajegan) orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berparilaku seperti orangtuanya.
 Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang taunya dimasa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat. Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para soiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat para pelanggar-pelanggarnya.
Didalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata faktor lingkungan memegang pean penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yng langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nila-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial berfundsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk atau meniadakan tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh kohlberg menujkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Perkebangan moral terjadi aktifitas sepontan pada anak-anak. Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor sianak dalam membentuk aktifitas-aktifitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral kohlberg menyatakan ada tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Semua itu berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran menurut kohlberg, perkembnganya dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget yakni makin tinggi tingkat penalaran seseorang, makin tinggi pula moral seseorang.


Proses perkembangan moral
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut:
1.       Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya.  Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral ini, adalah keteladanan dari orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral
2.       Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru, kyai, artis atau orang dewasa lainnya)
3.       Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba.  Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.

Dari hasil penyelidikan kohlberg mengemukakan 6 tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada 3 tingkat perkembangan moral menurut kohlberg, yaitu tingkat :
I     Prakonvensional
II    Konvensional
III   Pasca-konvensional
            Masing-masing tingkat terdiri dari 2 tahap, sehingga keseluruhan ada 6 tahapan yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang dapat mencapai tahap terakhir perkembangan moral. Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Hingga sesudah stadium ini datanglah:
Tingkat I; prakonvensional, yang terdiri dari stadiun 1 dan 2
            Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
            Pada stadium 2, berlaku prinsip Relaivistik-Hedonism.  Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai berbagai segi. Jadi, ada Relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan sesorang. Misalnya mencuri kambing karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi kebutuhanya, maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional
            Stadium 3, menyngkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orag lain, masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan sesorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting daam stadium ini.
            Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dari otoritas. Pada stdium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma soisal. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
Tingkat III: Pasca-Konvensional
            Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial kerena sebaiknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
            Stadium 6, tahap ini disebutbprinsisp universal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang ada unsur subjektif ynag menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nila-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikanya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercemin dalam sikap dan tingkah lakunya.
Pengertian perkembangan spiritual agama
Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.
Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek :
1)      Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau ketidak pastian dalam kehidupan,
2)      Menemukan arti dan tujuan hidup,
3)      Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,
4)      Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.
Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasaa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan (belief) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope), harapan merupakan suatu konsep multidimensi, suatu kelanjutan yang sifatnya berupa kebaikan, dan perkembangan, dan bisa mengurangi sesuatu yang kurang menyenangkan. Harapan juga merupakan energi yang bisa memberikan motivasi kepada individu untuk mencapai suatu prestasi dan berorientasi kedepan. Agama adalah sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya. Agama adalah suatu sistem ibadah yang terorganisir atu teratur.
Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Adapun unsur-unsur spiritualitas meliputi kesehatan spiritual, kebutuhan spiritual, dan kesadaran spiritual. Dimensi spiritual merupakan suatu penggabungan yang menjadi satu kesatuan antara unsur psikologikal, fisiologikal, atau fisik, sosiologikal dan spiritual.
Kata spiritual sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Untuk memahami pengertian spiritual dapat dilihat dari berbagai sumber. Menurut Oxford English Dictionary, untuk memahami makna kata spiritual dapat diketahui dari arti kata-kata berikut ini : persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik, perasaan atu pernyataan jiwa, kekudusan, sesuatu yang suci, pemikiran yang intelektual dan berkualitas, adanya perkembanga pemikiran danperasaan, adanya perasaan humor, ada perubahan hidup, dan berhubngan dengan organisasi keagamaan. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku seseorang.
Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah SWT, adalah dia dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan melakukan ajaran-Nya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai “Homo Devinans”, dan “Homo Religious”, yaitu makhluk yang bertuhan atau beragama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan spiritual-agama
1.      Pembawaan
Yang dimaksud pembawaan disini adalah karakteristik dari orang itu sendiri, dasr pemikiran dari individu barsarkan kepercayaan dan budaya dimilikinya.
2.      Lingkungan keluarga
Keluarga sangat menentukan perkembangan spiritual anak karena orang tua lah yang berperan sebagai pendidik atau penentu keyakinan yang mendasari sianak.
3.      Lingkungan sekolah
Pendidkan keagamaan yang diterapkan disekolah dapat mempengaruhi perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya pendidikan anak akan mulai berpikir secara logika dan menentukan apa yang baik dan tidak bagi dirinya dan kelak akan menjadi karakter anak tersebut.
4.      Lingkungan masyarakat
Kebaradan budaya yang ada yang ada dimasyarakat akan mempengaruhi perkembangan anak. Apakah perkembangannya menuju arah yang baik (positif) dan yang (negatif) itu semua tergantung pada bagaimana cara anak berinteraksi dengan masyarakat.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
                Menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang berarti tidak hanya memperoleh pengertian saja tetapi juga dapat menjalankannya atau mengamalkannya.perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap,sesuai dengan umur, faktor kebudayaan, dan tingkat pemahamannya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moral dan sikap remaja adalah menciptakan komunikasi, disamping memberi informasi  remaja harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan sistem lingkungan yang serasi dan kondusif.

 
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Hartono dan Sunarto. 2008. Perkembangan Peserta Didik.  Jakarta: Rineka Cipta.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar